Faktapalembang.id, NASIONAL – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama DPR RI menegaskan komitmen kuat untuk melindungi perempuan dan anak dalam situasi bencana dan darurat. Langkah ini diambil mengingat tingginya kerentanan mereka menjadi korban Kekerasan Berbasis Gender (KBG) di tengah krisis.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menekankan bahwa bencana menguji rasa kemanusiaan dan keadilan sosial.
“Bencana bukan hanya ujian bagi infrastruktur, tetapi juga ujian bagi rasa kemanusiaan dan keadilan sosial kita,” kata Menteri PPPA Arifah Fauzi dalam pernyataan yang diterima di Jakarta, Kamis (6/11/2025).
“Oleh karena itu, membangun sistem penanggulangan bencana yang inklusif berarti memastikan perempuan dan anak tidak hanya menjadi penerima bantuan, tetapi juga subjek yang berdaya dan berperan aktif dalam pemulihan,” lanjutnya.
Disampaikan usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Tim Pengawas Penanganan Kebencanaan DPR RI, Rabu (5/11), Menteri Arifah menyoroti bahwa perempuan dan anak dalam situasi darurat rentan mengalami berbagai bentuk KBG, mulai dari diskriminasi, stereotip, marginalisasi, hingga kekerasan fisik, psikis, maupun seksual.
Arifah memaparkan, risiko KBG terbukti meningkat selama masa darurat dan pasca-darurat. Ia mencontohkan temuan 67 kasus KBG dan 70 kasus perkawinan anak di Sulawesi Tengah pascagempa (Oktober 2018-Maret 2019).
Selain itu, data lain menunjukkan tiga kasus pemerkosaan di pengungsian pascagempa Padang, 97 kasus KBG pascatsunami Aceh, 313 kasus selama pandemi COVID-19, dan pelecehan seksual terhadap anak yang terjadi hanya dalam satu pekan pascagempa di Lombok, NTB.
Menurutnya, situasi ini ibarat fenomena gunung es, di mana kasus yang sesungguhnya jauh lebih banyak dibandingkan yang dilaporkan.
“Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak, Kemen PPPA dimandatkan dalam tiga tugas perlindungan anak dalam situasi darurat bencana,” tuturnya.
Tugas tersebut, jelas Arifah, meliputi “pencegahan agar anak tidak menjadi korban tindak pidana atau sebagai akibat dari situasi darurat, pemenuhan kebutuhan dasar dan khusus anak yang terkoordinasi dengan Kementerian Sosial dan pendampingan secara terkoordinasi dengan pihak lain.”
Kemen PPPA telah menindaklanjuti mandat ini dengan menerbitkan Peraturan Menteri PPPA Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pelindungan Perempuan dan Anak dari Kekerasan Berbasis Gender dalam Penanggulangan Bencana.
Komitmen ini diwujudkan di setiap tahapan bencana, mulai dari prabencana, tanggap darurat, hingga pemulihan. Salah satu langkah konkret adalah aktivasi Pos Ramah Perempuan dan Anak (Pos RPA) sebagai pusat data terpilah, dukungan psikososial, serta titik pengaduan bagi korban.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Tim Pengawas Penanggulangan Bencana DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, menegaskan bahwa Indonesia adalah negara rawan bencana. Ia menyoroti dampak bencana tidak hanya kerugian material.
“Tetapi juga mencakup kerugian non-material, seperti hilangnya nyawa manusia, trauma psikologis, dan terganggunya kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat,” jelas Cucun. “Bencana juga dapat memperburuk ketimpangan sosial dan menyebabkan kerentanan yang lebih besar terhadap kemiskinan dan ketidakadilan.”
Cucun menggarisbawahi pentingnya koordinasi lintas kementerian/lembaga. Ia menekankan perlunya satu komando operasi terpadu yang efektif untuk mengintegrasikan seluruh tahapan penanganan, mulai dari prabencana, tanggap darurat, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi.













